Kuasa Hukum Dahlan Iskan dan Nany Widjaja Sayangkan Penetapan Status Tersangka

oleh -450 Dilihat
Foto teks: Kuasa hukum Nany Widjaja, Billy Handiwiyanto.

Surabaya – Kuasa hukum Nany Widjaja, Billy Handiwiyanto, menyayangkan dan mempertanyakan langkah penyidik Dirreskrimum Polda Jatim yang menetapkan, status tersangka terhadap kliennya mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan mantan Direktur Jawa Pos, Nany Widjaja, atas dugaan penggelapan dan pemalsuan surat terkait  kepemilikan saham PT Dharma Nyata Pers (DNP), perusahaan media yang membawahi sebuah tabloid nasional. Keduanya dilaporkan oleh pihak PT  Jawa Pos.

Dalam konferensi pers, Billy Handiwiyanto, menjelaskan bahwa kliennya adalah pemegang saham sah berdasarkan akta jual beli tertanggal 12 November 1998. Sebanyak 72 lembar saham dibeli dari Anjarani dan Ned Sakdani dengan nilai total Rp 648 juta. Pada pembelian pertama saham di PT DNP, tersebut menggunakan pinjaman kepada PT Jawa Pos, akan tetapi sudah dilakukan pembayaran dibayar lunas melalui enam cek berurutan dalam periode 6 bulan.

Bahkan di bulan Desember 2018, terdapat penambahan modal di PT DNP, yang mana Nany Widjaja, melakukan setoran penambahan modal menggunakan uang pribadi, sehingga komposisi saham di PT DNP berubah menjadi 264 lembar saham atas nama Nany Widjaja dan 88 lembar saham atas nama Dahlan Iskan.

Masalah kemudian muncul pada 2008, ketika Dahlan Iskan meminta Nany Widjaja, untuk menandatangani akta pernyataan no 14 tahun 2008 bahwa saham PT DNP adalah milik PT Jawav Pos. Surat tersebut dibuat sebagai bagian dari strategi go public Dahlan Iskan, yang ternyata rencana tersebut gagal, oleh karena itu sudah dibuatkan akta pembalatan nya dengan nomor 65 tahun 2009.

Hal ini, juga diperkuat keterangan Dahlan Iskan dalam jawaban digugatan yang sedang berlangsung Bahwa sebanarnya akta no 14 tahun 2008 tersebut secara hukum bertentangan dengan UU penanaman modal pasal 33 ayat 1 yang berbunyi ” Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman dalam bentuk PT dilarang membuat perjanjian dan atau pernyataan yang menegaskan kepemilikan saham dalam PT untuk dan atas nama orang lain.”

Dan juga pasal 48 ayat 1 uu PT menyatakan ” Bahwa perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk”

Data Administrasi Hukum Umum (AHU) juga menunjukkan bahwa sejak 1998 hingga saat ini, pemegang saham PT DNP hanya tercatat atas nama Nany Widjaja dan Dahlan Iskan. Nama PT Jawa Pos tidak pernah ada dalam dokumen resmi.

Surat pernyataan 2008 itu kini, digunakan sebagai dasar pelaporan pidana oleh PT Jawa Pos terhadap Nany dan Dahlan. Mereka dijerat dengan sejumlah pasal, termasuk Pasal 263, 266, 372, dan 374 KUHP, serta TPPU juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.

Billy menyebut bahwa pihaknya sudah melapor ke Biro Wasidik Mabes Polri. Pada 13 Februari 2025, dilakukan gelar perkara yang juga dihadiri kuasa hukum PT Jawa Pos dan Direksi. Hasil gelar perkara menyarankan pendalaman para pihak dan kejelasan posisi pemegang saham. Yang mana pendalam berupa BAP Dahlan Iskan yang merupakan  saksi kunci belum diselesaikan. Termasuk dua kali permohonan pengajuan ahli yang diajukan pihak Nany Widjaja belum mendapat tanggapan. Sedangkan pihak pelapor sudah diperiksa keterangan ahli sebanyak 3 orang.

“Namun di luar dugaan, sesuai berita yang beredar di media online tiba-tiba menetapkan Nany dan Dahlan sebagai tersangka yang dimana surat pemberitahuan resmi belum kami diterima akan tetapi sudah viral di media online. Ya tentunya kami kaget. Bahkan sampai sekarang kami belum terima surat resmi. Kami tahu dari media, dan berita pun simpang siur,” ungkap Billy. Kamis (10/7/2025)

Saat ini, gugatan perdata terkait pengesahan kepemilikan saham PT dharma nyata sedang berjalan di pengadilan. Pihak Nany menggugat PT Jawa Pos untuk memperjelas status kepemilikan mereka di PT DNP. Oleh karena itu, Billy menilai penetapan tersangka sangat prematur. Karena sidang perdata baru akan memasuki agenda pembuktian

“Menurut Perma Nomor 1 Tahun 1956, seharusnya pidana ditangguhkan dulu karena perdata belum selesai. Tapi ini justru dipaksakan. Kami tidak menolak proses hukum, tapi harus sesuai prosedur,” tuturnya.

Kasus ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penegakan hukum. Ketika status tersangka dijatuhkan di tengah proses perdata yang belum rampung, muncul pertanyaan besar: apakah hukum masih mengedepankan keadilan atau justru dijalankan atas tekanan atau kepentingan tertentu?

Dalam situasi seperti ini, publik berhak tahu dan pihak terlapor berhak mendapat proses hukum yang transparan dan adil. Apalagi jika prosedur penting seperti pemanggilan, penyampaian status, hingga hak untuk mengajukan ahli tidak dijalankan secara semestinya. Yang mana seharusnya sejalan dengan upaya kapolri yang saat ini menjunjung tinggi polri presisi.  ( bro)