Pemkot Surabaya Diminta Tinjau Ulang Kebijakan Perubahan Skema Bantuan Pendidikan APBD 2026

oleh -67 Dilihat
Foto teks: Yona Bagus Widyatmoko Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya.

Surabaya – Komisi A DPRD Kota  Surabaya meminta Pemerintah Kota untuk meninjau ulang kebijakan perubahan skema bantuan pendidikan dalam Raperda APBD 2026.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, usai rapat pembahasan bersama Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) di ruang rapat Komisi A, Senin (20/10/2025) siang.

Menurut ia, kebijakan baru Pemkot Surabaya yang hanya memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa SMA/SMK swasta.

Sementara siswa SMA negeri, lanjutnya hanya mendapat bantuan seragam, berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan sosial di masyarakat.

“Kami berpikir kebijakan ini tidak memenuhi asas keadilan. Baik siswa negeri maupun swasta sama – sama berasal dari keluarga miskin atau pramiskin. Kalau bantuan biaya pendidikan untuk yang negeri dihapus, pasti akan timbul polemik di bawah,” ujar Yona.

Berdasarkan data yang dipaparkan, saat ini terdapat 16.800 siswa SMA/SMK penerima Beasiswa Pemuda Tangguh. Dari jumlah tersebut, 9.858 siswa  berasal dari sekolah swasta,

Sedangkan 6.942 siswa dari sekolah negeri, selama ini, seluruh penerima, baik negeri maupun swasta, memperoleh bantuan biaya pendidikan sebesar Rp 200.000 per bulan, yang dikirim langsung kepada siswa.

Namun, pada tahun anggaran 2026, Pemkot Surabaya berencana menghapus bantuan tunai bagi siswa negeri dan mengalihkannya hanya dalam bentuk bantuan seragam.

Sementara untuk siswa swasta, nilai bantuannya justru akan naik menjadi  Rp 500.000 per siswa per bulan.

“Kenaikan untuk siswa swasta dari Rp 200.000 menjadi Rp 500.000 memang bagus tujuannya, tetapi terlalu tinggi, ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial,” jelas Yona.

Yona menegaskan, Komisi A tidak menolak kebijakan peningkatan  bantuan bagi siswa swasta. Namun ia meminta agar besaran bantuan disesuaikan secara proporsional dan kuota penerima diperluas agar lebih banyak keluarga miskin bisa menikmati program tersebut.

“Kami menyarankan agar bantuan  untuk swasta tidak langsung Rp 500.000. Lebih baik dinaikkan menjadi  Rp 250.000 saja, tapi kuotanya dua kali  lipat. Jadi lebih banyak keluarga miskin yang tercover,” tutur Yona.

Selain itu, ia menyoroti mekanisme baru penyaluran bantuan yang langsung ditransfer ke rekening sekolah bukan ke siswa.

Menurutnya, sistem ini bisa rawan disalahgunakan jika tidak  diawasi secara ketat.

“Kalau dana ditransfer ke sekolah, harus ada pengawasan ketat, jangan sampai ada penyalahgunaan dana, misalnya  SPP tidak sampai Rp 500.000, tapi  sekolah tetap menerima penuh. Ini berpotensi rawan penyimpangan,” tegasnya.

Yona juga mengingatkan agar Pemkot tidak terburu-buru menjalankan kebijakan baru tanpa kajian mendalam.

Ia khawatir, perubahan skema ini bisa memicu gejolak dan kegaduhan di masyarakat, apalagi di kalangan keluarga miskin penerima manfaat program.

Komisi A berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan ini agar tidak menimbulkan kesenjangan antar  pelajar.

Yona menegaskan bahwa setiap kebijakan publik harus berpihak pada keadilan sosial, terutama bagi keluarga miskin dan pramiskin di Kota Surabaya.

“Kami akan mendorong agar TAPD dan Pemkot meninjau ulang nilai bantuan dan sistem penyalurannya. Jangan sampai niat baik berubah jadi masalah sosial,” pungkas Yona.

Dengan berbagai perubahan di atas, Komisi A menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh sebelum Raperda APBD 2026 disahkan.

Tujuannya jelas, untuk memastikan bahwa program beasiswa Pemuda Tangguh tetap adil, tepat sasaran, dan tidak menjadi sumber kegaduhan baru di masyarakat.

Sementara itu, Kepala Bapemkesra Kota Surabaya, Arif Boediarto, menjelaskan bahwa perubahan skema merupakan bagian dari restrukturisasi pengelolaan dana Kader Surabaya Hebat (KSH) agar lebih efektif dan tepat sasaran, mulai tahun 2026, pengelolaan KSH akan dialihkan ke tingkat kecamatan dengan total anggaran mencapai Rp 250 miliar.

“Untuk tahun 2026, anggaran KSH akan diturunkan ke kecamatan. Dengan begitu, teman-teman di kecamatan bisa lebih efektif menggerakkan koordinasi dan kreativitas di wilayahnya,” terang Arif.

Ia menambahkan, perubahan mekanisme ini juga mencakup penyaluran dana langsung ke rekening sekolah, bukan ke siswa, untuk memastikan dana benar – benar digunakan untuk pendidikan.

“Kalau dana dipegang anak, kadang tidak semua digunakan untuk sekolah. Jadi nanti ditransfer langsung ke  sekolah supaya penggunaannya tepat sasaran,” jelas Arif.

Arif menegaskan, Pemkot Surabaya  tidak bermaksud mengurangi bantuan, melainkan menyempurnakan sistem agar lebih transparan dan efisien.

Ia memastikan koordinasi dengan DPRD terus dilakukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan polemik di lapangan.

“Kita ingin semuanya matang sebelum dijalankan. Tujuannya tetap sama, memastikan tidak ada anak Surabaya yang putus sekolah karena persoalan biaya,” tandasnya. (*)