Pendidikan Karakter Untuk Indonesia Maju Butuh SDM yang Kuat dan Stakeholder

oleh

Surabaya – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menggelar konferensi press tentang Pendidikan Karakter Untuk Indonesia Maju bersama sejumlah nara sumber di kantor DPW LDII Provinsi Jawa Timur.

Ketua Umum DPP LDII, Ir H Chriswanto Santoso M.sc menyampaikan, untuk menyiapkan SDM adalah sesuatu yang harus, tidak mungkin tidak, karena salah satu diantara modal dasar yang sangat kuat harus di miliki oleh indonesia

“Untuk menuju Indonesia maju ya SDM harus kuat,” ujar Chriswanto Santoso. usai konferensi Press Kamis (19/11/2020).

Dalam nilai SDM ini, kata dia, pertama terkait dengan karakter dalam rangka menyongsong bonus demokrasi tahun 2030 maka LDII mencoba untuk berkontribusi pada pembangunan karakter.

“Selama ini pembangunan karakter lebih banyak ditekankan kepada obyek anak didik, lah kita mencoba mencari sisi lain yang selama ini menjadi kelemahan justru pada subyek yaitu pada stakeholder yang mendidik anak anak.” terang Chriswanto.

Maka itu, dibutuhkan membuat platform pondok karakter yang intinya adalah memberikan pemahaman pemahaman bagaimana cara stakeholder dalam membuat atau menciptakan anak didik yang memiiki karakter yang kuat yaitu enam kategori.

“Mulai dari Ketua Yayasan, Guru, Pamong, Tenaga Admistrasi dan orangtua sendiri bagian dari sesuatu yang harus berkesinambungan antara dirumah dengan satuan pendidikan tadi,” kata Chriswanto.

pihaknya juga mencoba mengumpulkan para tenaga ahli pendidik untuk memberikan pemahaman pemahaman dalam rangka pendidikan karakter sehingga diharapkan obyek anak didik kedepan siap dengan modal dasar yang sangat kuat.

“Terutama dibidang karakter, bukan hanya terkait dengan intlektualitas,” katanya.

Akan tetapi, menurut dia, lebih dari itu adalah kuat dalam karakter yang pihaknya sebut SDM yang profesional religius, profesional ahli dibidangnya, akan tetapi dalam bingkai nilai nilai karakter keagamaan yang mulia.

“Itu yang kita inginkan,” tutup Chriswanto.

Sementara itu, Ketua Tim Pondokkarakter.com Dr H Basseng mengatakan, apa yang sudah disampaikan tadi oleh Chriswanto bahwa dinilai masih ada kelemahan diantara para stakeholder terkait dengan pendididkan karakter.

Karena mendidik karakter itu, menurut dia, ada teknokratik dan caranya sendiri, setiap stakeholder memiliki cara tersendiri seperti kepala sekolah, Guru, ketua yayasan, dan pamong peranannya lain lain.

“Nah kebutuhan mereka berbeda beda lah ini yang kemudian kita berupaya untuk penuhi kebutuhannya,” kata Basseng.

Kalau logikanya, kata dia, para stakeholder memahami perannya dan cara melakukan perannya dalam pendidikan karakter, maka menurut dia, otomatis anak didiknya juga akan memiliki karakter profesional religius yang pihaknya diberikan.

“Tetapi kalau sasaran kita misalnya pondok karakter sasarannya langsung kepada anak didik ini nanti bisa terjadi,” katanya.

Walaupun, kata dia, anak didiknya itu sudah dilatih, tetapi kalau di lingkungan sekitarnya guru, kepala sekolah dan orangtua belum memahamai bagaimana mendidik karakter yang baik itu tentu akan lemah juga.

“Ya Itu nanti akan lemah juga bangunan karakter pada anak didik kita, sehingga titik engle yang diambil oleh pondok karakter ini adalah pada stakeholder yang enam itu tadi,” terangnya.

Praktisi Pendidikan Karakter Dr Siti Nurannisa menambahkan, pendidikan karakter yang sudah disampaikan tadi, bahwa pendidikan karakter tidak hanya diajarkan secara teknis. konniktif dihafalkan.

“Tetapi dia (Anak Didik) harus hidup dan muncul, harus hidup dan tumbuh sehingg bisa dilihat,” kata Dr Siti.

Meski demikian, diharapkan enam stakeholder itu menumbuhkan dulu karakter didalam dirinya masing masing, sebagai guru, kepala sekolah, orangtua sehingga para pelajar atau siswanya melihat.

“Oh seperti itu ya karakternya, bicara santunnya, dan kerjasamanya yang baik,” katanya.

Jadi, kata dia, menghidupkan dulu karakter di enam stakeholder setelah karakter itu hidup di dalam dirinya baru kita memberikan dan mentransformasikan itu kepada siswa.

“Karena pada dasarnya kita tidak bisa memberikan sesuatu hal yang tidak kita memiliki rasa kesungguhan dan bersyukur bagaimana kita mau mengajarkan bersyukur itu kepada orang lain ? ,” tuturnya.

Untuk itu, pihaknya mencoba untuk menghidupkan karakter itu di dalam enam stakeholder, sehingga itu bisa dilihat, dicontoh dan ditiru serta dirasakan oleh para siswa atau anak didik.

“Kurang lebihnya seperti itu,” tutup Dr Siti. (irw)