Surabaya – Wakil Ketua DPRD Surabaya A.Hermas Thony menyebutkan rezim pendidikan saat ini tidak pernah belajar terhadap persoalan yang terjadi pada sebelumnya.
“Ini terbukti nampak setiap tahun (PPDB) kita selalu dihadapkan pada sikap perilaku masyarakat yang rebutan mencari sekolah (Negeri),” ujar A.Hermas Thony. Rabu (01/07/2020).
Mestinya, menurut Penasehat Fraksi Gerindra ini, kalau itu mau direncanakan dengan matang dengan mempertimbangkan data base yang sudah ada diambil dari Dinas Kependudukan, maka rezim pendidikan akan menyelesaikan masalah pendidikan dengan baik.
“Data base itu seperti pertama tentang populasi bakal calon siswa,” kata Thony.
Calon siswa ini, kata ia, mulai SD sampai SMA terbaca karena sudah menggunakan sistim kependudukan berbasis terintergrasi dan sistim pemetaaan ini didasari kepada dimana tempat sekolah berada.
“Sistim zonasi itu mestinya tidak diterapkan kepada dimana sekolah itu berada, tetapi didasarkan kepada peta penyebaran masyarakat yang berpotensi masuk sekolah yang berada,” terang Thony.
Sehingga, ia menjelaskan, titik zonasi tidak mesti harus di sekolah lagi tetapi bisa berpindah pindah disebarkan ke tempat lain, fungsi sekolah hanya sebagai satu tempat penampungan dan pelaksanaan serta penyelenggaraan persekolahan
“Bukan menjadi titik kepada penetapan dimana anak itu masuk sekolah,” papar Thony.
Pihaknya menghormati, upaya yang dimaksudkan penetapan zonasi itu, tetapi kalau dulu orang mengejar sekolah yang favorit dan baik bahkan yang jauh sekalipun dikejar oleh orangtua karena demi anak.
“Tetapi Pemerintah memandang ada permasalahan dengan lalu lalangnya masyarakat yang dari jauh ke tempat jauh itu terutama di kota kota besar,” kata Thony.
Pertama, kata ia, tingkat lalu lintas menjadi padat, kedua tingkat kecelakaan anak sekolah menjadi tinggi, ketiga boros pembiayaan dan lain sebagainya, ketika zonasi dipakai ditetapkan untuk menjawab persoalan itu jangan sampai melahirkan masalah baru.
“Maka konsekoensinya, karean pemerintah ini belum bisa menyiapkan sekolah atau bangunan yang ada disetiap wilayah maka bisa dilakukan dengan beberapa opsi,” kata Thony.
Opsi pertama, kata ia, memindahkan titik zonasi tidak ada pada sekolah, tetapi digeser kepada titik masyarakat yang dimana menjadi sasara bidik bakal calon siswa harus diserap dalam sekolah.
Kedua, lanjut Ia, pemerintah secara perlahan lahan nantinya mengupayakan di zona zona kosong yang tidak sekolah mulai dibangun sekolah baru dan menyesuaikan terhadap kebutuhan yang ada.
“Dan kami pikir untuk kebutuhan sekolah ini makin lama makin meningkat,” kata Thony.
Akan tetapi, menurut ia, kalau memang adalah sistim itu adalah merubah bahwa progres kedepan sekolah tidak lagi membutuhkan bangunan, atau mungkin hanya membutuhkan jaringan jaringan dengan virtual.
“Kalau itu dilakukan dijadikan progres kedepan, mungkin kita tetap tidak perlu membangun tetapi merubah titik zonasi tadi itu,” pungkas Thony.
Ia menanmbahkan, pemerintah bisa melakukan sebuah sinergi dengan pihak pihak swasta karena, menurut Thony, karena orang kalau memilih sekolah tidak didasarkan dengan pertimbangan zonasi saja, tetapi juga karena faktor biaya.
“Yang mengejar sekolah gratis tidak hanya masyarakat ekonomi miskin saja, tetapi juga orang yang mampu pun akan mengejar sekolah gratis itu,” kata Thony.
Ketika itu adalah keinginan membayar gratis menjadi sebuah kebutuhan semua lapisan masyarakat, berarti lanjut kata ia, kita kembali lagi kepada sepirit Undang Undang Dasar 45.
“Negara punya kewajiban untuk mencerdasan seluruh kehidupan bangsa,” tutur Thony.