Surabaya – Komisi B DPRD Kota Surabaya menggelar rapat dengar pendapat terkait pengaduan warga tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau pendaftaran Tanah
Salah satu perwakilan warga Saleh Alisni mengatakan, bahwa yang namanya bea perolehan hak atas tanah yang sudah dibayarkan itu harus dimunculkan.
“Itu pasti akan mendapatkan sertifikat tanah, dan tidak mungkin mendapatkan sertifikat bangunan,” kata Saleh Alisni ditemui seusai rapat. Kamis (5/10/2023).
Ia menjelaskan, ketika diatas tanah ada bangunan kemudian akan dikenakan bangunannya
“Kalau model IPT hanya mencopot bangunannya saja itu enggak bisa,” terangnya.
Menurut Saleh, seharusnya mengikuti pajak perolehan hak atas tanah yang sudah diatur di dalam UU No 20 tahun 2000.
“Tentang perubahan bea perolehan hak atas tanah No 21 tahun 1997,” katanya.
Selain itu, lanjut ia, ada Peraturan Pemerintah (PP) No 112 tahun 2000 tentang perolehan hak atas tanah dan pengelolaannya.
“Kalau di dalam situ ada pengelolaan dari pemerintah kota maka pemerintah kota mendapatkan 0 persen,” ungkap Saleh
Jika pengelolaan bukan hak dari pemerintah kota, menurut Soleh, maka akan dikenakan 50 persen setelah dihitung berdasarkan PP No 112 tahun 2000.
“Jadi kita masyarakat datang disini untuk meminta bea perolehan hak atas tanah yang sudah dibayarkan, dan apa bisa dikenakan IPTnya ?,” tanyanya.
Karena, menurut Saleh, IPT tidak pernah ada yang namanya hak atas tanah sedangkan IPT itu adalah izin pemakaian tanah sesuai Perda No 3 Tahun 2016
“IPT itu tidak didasarkan dari SK HPL tapi SK HPLnya ini beli atas izin dari negara,” katanya.
Jika tidak ada izin tersebut kata ia, dinilai melanggar Perpu no 51 tahun 1960 yaitu larangan pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya.
“Kalau tidak punya izin, enggak boleh menguasai tanah warga,” katanya.
Setelah mendapatkan itu, kata ia didaftarkan ke pemerintah kota untuk mendapatkan sertifikat HPL luasannya kurang lebih 20 – 30.
“Dari situ ada lagi yang harus diberikan kepada masyarakat yaitu HGB diatas HPL sesuai dengan SKnya,” terang.
Selama ini, menurut Saleh, peraturan tentang pemberian ke warga belum ada aturannya sehingga warga terkatung katung dan belum mendapatkan hak atas tanah.
“Walaupun itu berupa HPL,” katanya.
Pemerintah Kota sekarang ini, menurut ia, hanya mengandalkan dari surat kementerian tertanggal pada 1 Desember tahun 2022.
“Itu jelas kami menolak,” tegas Saleh.
Menurut Saleh, karena itu tidak sesuai dengan asal usul riwayat tanah sehingga pihaknya meminta jangan dilepas lebih dahulu.
“Inilah yang nantinya kita bisa tahu,” katanya.
Karena, menurut ia, sertifikat HPL ini yang didaftarkan kepada BPK bukan sertifikat HGB diatas HPL.
“Kalau masih bongkok”an gini di daftarkan dimana pembayaran pajak itu tidak bisa terealisasi?,” tanyanya.
Menurut Saleh, pajak terbayarkan tetapi tidak bisa dibayarkan bahkan berhenti sampai disini karena pemerintah kota menganggap sudah didaftarkan dan dilaporkan.
“Sebagai perolehan lain yang sah, padahal ini belum dilepas,” katanya.
Berdasarkan PP No 24 tahun 2005 tentang standard akutansi pemerintah, menurut ia harus dilepas lebih dahulu baru bisa mendapatkan sertifikat HGB diatas HPL
“Kalau warga sudah mendapatkan sertifikat HGB diatas HPL barulah mendapatkan suatu perolehan yang sah HPL Pemkot, bukan HPLnya orang lain,” katanya.
Artinya, menurut ia, Pemkot dinilai sudah mematuhi aturan yang ada di dalam aturan SK HPL tersebut walaupun itu tidak pernah dituangkan ke dalam perda
“Kalau kita diputar putar seperti ini atau kita diajak ke sana ke mari bertemu dengan menteri, otomatis kita pertanyakan bagaimana bisa memperoleh tanahnya ini,” katanya.
Menurut Saleh, karena perolehan tanah yang sah itu tidak bisa didasarkan dari izin pemakaian tanah.
“Izin pemakaian tanah ini bukan perolehan yang sah karena tidak ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang,” katanya
Pejabat yang berwenang itu, menurut Saleh adalah BPN karena harus ada HGB diatas HPL yang berstempel dan bergambar Garuda.
Sehingga, kat ia, hal itu dirasa jelas perolehan lain yang sah sesuai dengan Permendagri No 19 tahun 2016.
“Itu baru yang dinamakan sah,” katanya.
Jika didaftarkan dengan HGB diatas HPL, menurut Saleh, masyarakat belum memperoleh hak atas tanah
“Karena pemkot ini belum melepaskan,” katanya.
Jika IPT tersebut diberikan, menurut Saleh tidak ada hubungannya dengan hukum IPT dan kalau ada hubungannya, pihaknya memastikan di dalam IPT ada Permendagri No 1 tahun 1977.
“Yakni pemberian HGB diatas HPL kepada masyarakat yang diperintahkan oleh SK HPL ini di dalam diktum ke tujuhnya,” katanya.
“Dan ada diktum ke 6 yang harus di selesaikan dulu, warga harus diberi ganti untung dulu tetapi ini tidak dilaksanakan,” imbuhnya.
Jika pemerintah kota tidak mau, menurut Saleh, warga dikeluarkan dari SK sehingga warga bisa memperoleh hak atas tanahnya
“Karena disini diatur juga,” katanya.
Senada, Johniel Lewi Santoso berharap bisa meminta SHM dan pihaknya tidak meminta tanah Pemkot yang dibeli dari APBD
“Kalau tanah itu miliknya warga ya harus dikembalikan kepada warga,” harapnya.
Warga Ngagel Surabaya ini juga meminta tolong hal itu untuk disampaikan kepada Eri Cahyadi untuk bisa dipelajari dan jangan sampai mendengarkan bisikan bisikan.
“Kalau tanah ini dikembalikan ke warga maka itu tidak ada unsur korupsi,” katanya.
Warga, kata Johniel, tidak ingin meminta tanah Pemkot yang dibeli dari APBD, tetapi warga meminta tanahnya sendiri.
“Ini tolong ini disampaikan kepada pak Eri Cahyadi,” pesannya.
Sementara itu, Arif Perwakilan BPN Surabaya 2 mengatakan, bahwa di BPN sebatas sebagai petugas pencatat
“Dimana yang kami catat adalah benar benar suatu hak yang dimiliki,” ujarnya
Apa yang dimaksud oleh warga ini saat ditolak mendaftarkan ke BPN, menurut ia, karena tanah itu masuk aset Pemkot
“Otomatis di kami BPN tidak berani menerima pendaftaran tersebut,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi B John Thamrun mengatakan, bahwa warga mempertanyakan adanya pembayaran BPHTB dibayarkan atas tanah warga
“Pembayaran BPHTB itu adalah IPT,” ujarnya
Warga yang melakukan transaksi ini, kata John Thamrun, dikenakan BPHTB karena tanah tersebut bukan tanah HPL atau tanah yang lain
“Jika mereka ingin meningkatkan status menuju HGB yang berdiri di atas HPL maka mereka harus mengajukan kepada Pemkot Surabaya,” tuturnya.
Sedangkan yang dibawa ke komisi B ini, kata John Thamrun, adalah beberapa permasalahan yang mungkin sudah pernah digugat di pengadilan negeri Surabaya
“Kalau sudah pernah digugat maka itu rananya Yudikatif bukan rana legislatif,” tegasnya.
Permohonan yang diajukan oleh warga tersebut, menurut John Thamrun, tentu harus melihat alas hak atau dasar hukum yang ada
“Tidak bisa mereka asal meminta atau wajib harus dipenuhi,” tuturnya.
Jika ditemukan ada penguasaan hak atas tanah diatas HPL, menurut legislator fraksi PDIP ini, pihaknya mempersilahkan warga untuk mempertanyakan ke Pemerintah kota Surabaya.
“Nah itu tadi tidak muncul bukti – bukti yang mungkin dikeluarkan dari warga tersebut,” kata John Thamrun.
Jika tidak dimunculkan dan hanya asumsi, menurut John Thamrun, pihaknya diposisi dewan merasa kesulitan.
“Dimana membawa suara warga surabaya kepada pemerintah kota Surabaya,” pungkasnya. (irw)