beritasurabayaonline.net
Sospol

Vinsensius Awey Ragukan Hasil Survey PusPolitika Surabaya

Surabaya – Hasil survey Pusat Penelitian Politik dan Agama (PusPolitika) yang menempatkan nama Sukoto diatas nama Wisnu Sakti Buana dan Dhimam Abror dinilai meragukan akurasi metodologinya oleh Vinsensius Awey politisi asal Partai Nasdem Kota Surabaya, apalagi pada poin kesimpulan ternyata menggiring opini soal De-Rismanisasi (anti Risma).

Dikatakan oleh Politisi asal partai Nasdem Vinsensius Awey bahwa survey yang dilakukan oleh PusPolitika Surabaya tidak proporsional karena jumlah sampling hanya 100 orang dan pelaksanaan surveynya tidak dilakukan secara merata di semua tingkatan.

“menurut saya sangat diragukan akurasinya karena metodologi yang dipakai tidak proporsional, karena jumlah penduduk kota Surabaya ini sekitar 2,8 juta, kalau diambil 1 persennya saja ketemu 280 orang, nah ini survey hanya dilakukan kepada 100 orang yang isinya 70 laki-laki dan 30 perempuan, sementara pemilih terbanyak justru kaum perempuan,” ucapnya. (27/05/2015)

Tidak hanya itu, Awey juga sangat menyayangkan hasil survey PusPolitika Surabaya yang pada poin kesimpulan terkesan melakukan sikap De-Rismanisasi (anti Risma) karena justru akan menuai persoalan baru.

“sangat tidak elok jika menyamapaikan kesimpulan yang arahnya De-Rismanisasi atau anti Risma dengan alasan-alasan yang menurut saya masih subyektif bahkan tendesnsius, apalagi menempatkan nama Sukoto di atas Wisnu Sakti Buana dan Dhiman Abror,” tandasnya.

Awey menyarankan jika harusnya lembaga survey cukup memberikan kesimpulan yang general dan tidak mengembangkan opini yang sisinya justru mendiskreditkan salah satu kandidat Pilkada.

“sampaikan pada kesimpulan sebuah kalimat yang general dan normative, contohnya hasil survey terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Risma selama lima tahun, bukan malah menyimpulkan bahwa tak sedikit PNS di pemkot Surabaya yang tidak suka dengan Risma karena dianggap otoriter, ini sangat tidak elegan,” tambahnya.

Masih Awey, jika hasil surveynya masih menempatkan Risma diposisi atas dengan angka kurang dari 50 persen, maka lembaga survey cukup memberikan rekomendasi bahwa kesempatan Bacakada lain masih terbuka, karena elektabilitasnya tidak lebih dari 51 persen.

Awey juga menjelaskan bahwa partai Nasdem akan bersifat realisitis dan obyektif di Pilwali Surabaya 2015, dan menyatakan jika partainya sangat mungkin akan turut mendukukung pencalonan Risma jika kondisi politik yang berkembang memang seperti itu.

“partai kami tidak mau terjebak soal isu Risma, tetapi kami juga tidak akan mengusung moto “asal bukan Risma”, karena akan lebih baik jika justru berusaha untuk mengisi kekurangan di pemerintahan Risma, untuk itu partai kami juga masih mungkin akan mendukung Risma jika ternyata partai kami tidak menemukan sosok yang lebih baik untuk kemajuan Kota Surabaya sebagai kota Trading dan Service, meskipun dengan kategori minus maklum,” pungkasnya.

Seperti yang diberitakan sejumlah media bahwa Pusat Penelitian Politik dan Agama (PusPolitika) telah merilis hasil surveynya, tercatat Tri Rismaharini memiliki tingkat elektabilitas 43 persen, posisi kedua muncul nama Sukoto dengan 22 persen, di tempat ketiga nama Wisnu Sakti Buana 10,5 persen, kemudian Dhimam Abror Djuraid dengan 7 persen dan posisi terakhir nama Arzeti Bilbina dengan 5 persen.

Ketua PusPolitika Surabaya, Muhammad Jacky, menyatakan, survei tersebut dilakukan pada 18-25 Mei 2015 dengan teknik multistage random sampling. Responden penelitian dalam usia produktif dengan kisaran berumur 18-50 tahun. Rinciannya, 25 persen berusia 18-30 tahun, 40 persen berada dikisaran usia 30-40 tahun, yang berumur 40-50 sekitar 25 persen, dan responden berusia 50 lebih sekitar 10 persen.

“Jadi repondennya sebanyak 100 orang, 70 laki-laki, 30 perempuan,” ujarnya saat merilis hasil surveinya di Hotel Sahid, Surabaya, Senin (25/05/2015).

Mereka memiliki latar belakang pendidikan rata-rata SD sampai SMA. Rinciannya sebanyak 10 persen responden lulusan SD, 30 persen tamatan SMP, sedangkan SMA sebanyak 50 persen, dan sisanya sekitar 10 persen lulusan perguruan tinggi.

“Kita survei dari berbagai etnis, 70 persen dari Jawa, 20 persen Madura, Tionghoa 5 persen, dan sisanya bukan dari suku-suku tersebut di atas,” jelasnya.

Menurut Jacky, suara Risma, sapaan Tri Rismaharini, masih mungkin bisa disalip oleh kandidat lainnya. Hal itu bila Risma menjadi musuh bersama para kandidat yang lain dan partai politik. Apalagi hasil survei menyatakan Risma tidak menang mutlak. Sehingga memungkinkan masih ada kontestasi di antara para calon walikota.

Jacky mengungkapkan, saat ini terjadi fenomena De-Rismanisasi. Di mana warga Surabaya dan PNS melakukan perlawanan terselubung. Pasalnya, Risma di lingkungan PNS Pemkot Surabaya dan para guru dikenal sebagai pemimpin otoriter.

“Jadi untuk mengimbangi Risma, diperlukan tokoh yang dapat mempersatukan kekuatan,” terangnya.

Masalah kesejahteraan, kata Jacky, menjadi isu sentral di Surabaya. Disusul masalah pendidikan, kesehatan dan keamanan. Karena itu, warga Surabaya berharap yang menjadi walikota lima tahun ke depan adalah yang bisa menangani masalah-masalah tersebut.

“Pada akhirnya, pemilih yang belum menentukan yang sangat berpengaruh terhadap pemenangan pilwali. Kami hanya melakukan survei secara independen untuk membantu proses demokrasi di Surabaya,” tukasnya. (irw/q cox)

Baca juga